Laman

Sabtu, 30 November 2013

#KisahNovember Slap Me If You Dare

Challenge @KampusFiksi. Katanya sih buat latihan #KampusFiksiEmas. Apaan udah keok duluan milkysmile ahaha~ gapapa deh, namanya juga usaha.
Slap Me If You Dare

Apakah aku secantik Kyoko Fukada?
Itulah yang aku pikirkan saat pemuda berbadan tegap yang selama ini menghantui mimpi-mimpi malamku, menghampiri di kelas dan mengajakku pulang bersama. Tunggu! Apakah tsunami akan melanda Jepang lagi? Ah, pasti ini cuma mimpi. Kucubit pipiku berkali-kali. Ternyata sakit. Bahkan aku bisa mencium bau badan Kurosawa yang duduk di belakangku. Berarti ini bukan mimpi.
Aku pun melonjak kegirangan tidak mempedulikan tatapan teman-teman sekelas yang menganggapku aneh. Ah, biarlah mereka menganggapku aneh. Bukankah selama ini memang mereka selalu menganggapku seperti itu? Seorang gadis nerd yang cuma kenal setumpuk buku-buku dan hobi duduk berjam-jam di perpustakaan.
Dan kini aku, Si Hantu Penunggu Perpustakaan — begitulah sebutanku bagi sebagian orang, pulang bersama Yamada Mamoru. Entah apa yang ada di pikirannya,  mungkin saja tadi malam dia jatuh dari Tokyo Tower dan kepalanya terbentur. Oke, cukup Megumi! Hentikan hipotesismu yang tidak masuk akal itu. Jika seseorang jatuh dari Tokyo Tower, mana mungkin dia sekarang ada di hadapanmu? Pasti Shinigami[1] telah membawanya ke alam baka. Dan satu lagi, sepertinya kini aku mulai gila karena berdebat sendiri dengan diriku yang lain. Oke, ini membingungkan. Lebih baik kita sudahi saja perdebatan ini dan kembali ke masalah Yamada-senpai.[2]
Ah, senangnya hatiku menikmati tatapan iri para pemuja Yamada-senpai dan tentu saja tatapan ingin membunuh dan menenggelamkanku ke dasar Sungai Shinano dari Yamashita Ryoko, yang sering mengaku-aku sebagai kekasih Yamada-senpai. Ya, memang dia cantik dan menarik. Dia juga ketua fanclub Yamada-senpai. Ah, tapi entah kenapa aku tidak menyukainya. Mungkin karena dandanannya kelewat menor itu yang membuatku kadang bergidik ngeri. Entah berapa sentimeter tebal bedak yang dia gunakan.
Sebenarnya aku bukan salah satu pemuja Yamada-senpai. Apalagi sampai bergabung ke fanclub-nya itu. Memikirkannya pun membuatku ber-sweat drop-ria. Tapi memang benar, akhir-akhir ini pemuda berambut short spike itu sering mondar-mandir di mimpiku. Mungkin karena kejadian beberapa waktu yang lalu yang membuatku mulai menganguminya.
Bulan November yang lalu, aku melihatnya memberi makan seekor kucing liar di tepi jalan. Yamada-senpai yang kadang terlihat cuek itu ternyata penyayang binatang juga. Saat itu aku sampai terheran-heran melihatnya, sampai-sampai Kaito nii-san [3]menyeretku pulang.
Ah, sudahlah, yang penting kini aku bersama  pemuda yang bisa dibilang lumayan populer di Horikoshi Gakuen.
Kami berjalan berdua, beriringan melalui koridor sekolah. Sampai tempat parkir pun, dia membukakan pintu mobil untukku. Aku sendiri juga heran, sejak kapan Yamada-senpai naik mobil ke sekolah? Tapi, segera saja kuabaikan hal itu. Yang penting aku sekarang bersamanya.
Semula aku sempat berpikir, “Shinigami, kau boleh mengambil nyawaku sekarang. Setidaknya aku mati dalam pelukan Yamada-senpai.” Tapi setelah kupikir-pikir lagi, sayang rasanya jika aku mati muda. Setidaknya aku belum menikah dan melahirkan buah hatiku dan Yamada-senpai. Oke, ini sangat absurd. Lupakan saja.
Senang sekali rasanya duduk bersebelah dengan Yamada-senpai dalam mobil yang sama. Dia tersenyum manis padaku dan perlahan mendekatiku. Bibir kami hampir saja berpagutan sampai tiba-tiba suara janggal dari belakangku. Entahlah, seperti suara Nakamura-sensei. Kenapa aku mendengar sayup-sayup suaranya ya? Padahal seingatku beliau tidak ikut menebeng mobil Yamada-senpai.
“KOBAYASHI!! BANGUN!!”
***
Huft, aku menghela nafas pelan saat sepasang manik mataku melirik ke luar jendela. Bulir-bulir air mulai berjatuhan membasahi bumi. Kali ini langit jauh lebih gelap dari biasanya.  Dan benar saja, hujan yang semula hanya girimis, perlahan menjadi deras.
Kulirik jam tangan digital merah marun di pergelangan tangan kiriku. Pukul 16.25. Hari sudah sore dan sekolah mulai tampak lengang kecuali segerombolan anak yang mengikuti ekstrakulikuler yang tampak berlarian berteduh dari derasnya hujan.
Seharusnya aku bisa pulang dari tadi kalau saja Nakamura-sensei tidak memergokiku terlelap saat pelajarannya. Dan beginilah hasilnya, beliau menghukumku —, oh tidak, mungkin lebih tepatnya menugasiku membersihkan toilet perempuan sendirian. Ya, benar sekali. Sendirian! Beliau sangat baik hati bukan?
Aku terus berjalan menyusuri koridor sekolah menuju dojo[4] kendo[5] yang berada di lantai satu. Seingatku hari ini Kaito nii-san latihan kendo. Aku ingin mengajaknya pulang bersama karena hari ini aku lupa membawa payung.
Kugeser shoji[6] ruang itu. Sejujurnya aku baru dua kali ini kemari. Bukan karena aku benci kendo, tapi —,
“Ah, Megumi-chan[7]!” seru seorang gadis yang mengenakan hakama[8]. Maafkan aku, tapi dialah alasanku malas ke dojo ini. Gadis bersurai hitam bergelombang ini menyukai Kaito nii-san. Sebenarnya aku tidak keberatan, tapi karena Kaito nii-san itu super tidak peka, jadi gadis ini memintaku untuk membantunya. Tapi sejauh ini usaha mendekatkan mereka belum ada kemajuan.
Ano…Takahashi-san[9] —,”
“Panggil aku Chiharu nee-chan[10], sebentar lagi aku akan menjadi kakak iparmu kan?” ucap gadis di depanku ini seraya malancarkan jurus ‘Senyuman Sejuta Watt’-nya yang sangat menyilaukan mataku.
Aku hanya tersenyum canggung dan menggaruk tengkukku yang tiba-tiba gatal. Mungkin sejenis alergi terhadap orang yang tingkat kepercayaan dirinya sudah terlalu parah seperti Takaha —, oh maaf, maksudku Chiharu nee-chan.
“Kalau kau mencari Kaito-kun, kau terlambat. Dia sudah pulang.” kata Chiharu yang kujawab dengan anggukan kecewa dan segera berpamitan dan meninggalkan tempat itu.
Aku berusaha menghubungi ponselnya, tapi sayangnya tidak aktif. Mungkin dia sedang menyiapkan makan malam karena hari ini adalah gilirannya. Maklum saja kami terbiasa membagi pekerjaan rumah kami sejak meninggalnya Okaa-san[11] bulan November lima tahun yang lalu.
Kini aku berusaha menghubungi Otou-san[12], tersambung tapi tidak diangkat. Ah, pasti beliau masih sibuk dengan mahasiswa-mahasiswanya.
Aku tengah menggerutu tak karuan saat ada seseorang yang berdiri sejajar denganku di teras sekolah ini. Aku melirik sekilas ke arahnya. Tolong tampar aku! Dia pemuda yang membuatku harus membersihkan toilet perempuan sendirian.
“Hei, kenapa kau melihatku seperti itu? Apakah ada yang salah dengan wajahku?” tanya pemuda itu seraya memegangi wajahnya.
Ya, Senpai! Sangat salah! Wajahmu terlalu tampan.
“Ah, gomenasai[13], Senpai. Tidak ada yang salah.” kataku seraya merunduk dan tanpa sengaja sepasang mataku melihat payung yang dibawanya. Oke, aku berani bertaruh. Jika dia menawariku untuk menggunakan payung bersamanya, maka aku akan minta dia menamparku. Catat itu! Yah, walau kemungkinannya hanya 0, 00001% sih.
Ano[14]…, Yamada-senpai tidak pulang?” tanyaku berbasa-basi.
“Masih terlalu deras, setidaknya aku menunggu sedikit reda.” jawabnya tenang dan entah kenapa sepertinya Tuhan mengabulkan ucapannya. Hujan mulai reda. Hanya gerimis kecil dan tidak ada sambaran petir seperti tadi.
Pemuda di sampingku ini tersenyum simpul, “Sepertinya Dewa Hujan mendengar ucapanku, Kobayashi-san.”
Aku terheran saat dia memanggil nama margaku, “Senpai, mengenalku?”
“Takahashi-san yang memberitahuku. Sepertinya dia sangat menyukai Kobayashi-senpai. Hampir tiap latihan dia menempel padanya.”
“Ya, dia memintaku untuk membantunya. Tapi Kaito nii-san terlalu bodoh sampai tidak menyadarinya.”
Dia hanya tersenyum menanggapi ucapanku, “Kurasa mereka berdua cocok.”
“Sudah mulai reda.” gumamnya entah pada siapa, “Kobayashi-san, mungkin kita bisa ke halte bus bersama.” katanya seraya membuka payung.
Aku memandangnya antara senang dan menyesal. Senang karena Tuhan mengabulkan permintaanku dan menyesal karena aku harus memenuhi janjiku.
Senpai, tampar aku sekarang.”
Yamada-senpai mengernyitkan kening heran dan menatapku seolah minta penjelasan dan aku balik menatapnya takut-takut. Sepertinya dia tak akan tega.
Ah, jika dia tega benar-benar menamparku, maka aku akan mencium pipinya. Astaga! Aku mulai berjanji yang aneh-aneh lagi. Bodohnya aku.
“Baiklah, tapi jangan adukan pada Kobayashi-senpai.”
PLAK!!
Kepalaku terasa berkunang-kunang setelah tamparannya. Sial! Dia benar-benar menamparku. Oh, haruskah aku melakukannya.
GLEGAAARR!!
Iya, iya, baiklah aku akan melakukannya. Sepertinya suara petir itu merupakan peringatan untukku untuk tidak sembarangan berjanji lagi.
Senpai, bisakah kau merunduk sebentar? Hidungmu kotor.” Kebohongan terucap lancar dari bibirku.
Yamada-senpai menuruti permintaanku seraya memegangi hidungnya.
CUP!
Aku melihat matanya membulat sempurna saat aku menciumnya.
Senpai, gomenasai!” teriakku berlari menembus gerimis meninggalkannya yang masih terkejut. Aku menengok sekilas ke belakang dan dia tersenyum canggung ke arahku.
Kurasa hujan kali ini membawa keberuntungan untukku. Setidaknya aku bisa mencium Yamada-senpai walaupun kini aku harus kehujanan menuju halte bus yang tak jauh dari sekolah kami.
Oh, tunggu! Bukankah rumahku dan Yamada-senpai searah? Dan bukankah jadwal bus yang berikutnya datang masih sepuluh menit lagi? Itu berarti aku akan bertemu dia. Oh, tidak! Apa yang harus kulakukan? Aku masih belum siap menghadapinya.
“Kobayashi-san?”
Suara itu! Suara yang paling kuhindari saat ini setelah apa yang baru saja aku lakukan padanya.
Shinigami, maukah kau menjemputku sekarang?
***



[1] Dewa Kematian
[2] Senior
[3] Kependekan Onii-san yang artinya kakak laki-laki
[4] Tempat latihan dan tempat bertarung martial art Jepang
[5] Salah satu jenis martial art Jepang yang menggunakan pedang bambu
[6] Pintu geser
[7] Panggilan untuk anak kecil. Bisa juga untuk panggilan peremruan agar terlihat imut.
[8] Pakaian luar tradisional Jepang yang dipakai dari pinggang sampai mata kaki.
[9] Panggilan paling umum untuk menyapa orang yang bukan anggota keluarga.
[10] Kependekan Onee-chan artinya kakak perempuan.
[11] Ibu
[12] Ayah
[13] Maaf
[14] Semacam “Hm…” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comments here