Challenge @KampusFiksi. Katanya sih buat latihan #KampusFiksiEmas. Apaan udah keok duluan ahaha~ gapapa deh, namanya juga usaha.
Slap Me If You Dare
Apakah
aku secantik Kyoko Fukada?
Itulah
yang aku pikirkan saat pemuda berbadan tegap yang selama ini menghantui
mimpi-mimpi malamku, menghampiri di kelas dan mengajakku pulang bersama. Tunggu!
Apakah tsunami akan melanda Jepang lagi? Ah, pasti ini cuma mimpi. Kucubit
pipiku berkali-kali. Ternyata sakit. Bahkan aku bisa mencium bau badan Kurosawa
yang duduk di belakangku. Berarti ini bukan mimpi.
Aku
pun melonjak kegirangan tidak mempedulikan tatapan teman-teman sekelas yang
menganggapku aneh. Ah, biarlah mereka menganggapku aneh. Bukankah selama ini
memang mereka selalu menganggapku seperti itu? Seorang gadis nerd yang cuma kenal setumpuk buku-buku
dan hobi duduk berjam-jam di perpustakaan.
Dan
kini aku, Si Hantu Penunggu Perpustakaan — begitulah sebutanku bagi sebagian
orang, pulang bersama Yamada Mamoru. Entah apa yang ada di pikirannya, mungkin saja tadi malam dia jatuh dari Tokyo
Tower dan kepalanya terbentur. Oke, cukup Megumi! Hentikan hipotesismu yang tidak
masuk akal itu. Jika seseorang jatuh dari Tokyo Tower, mana mungkin dia
sekarang ada di hadapanmu? Pasti Shinigami[1]
telah membawanya ke alam baka. Dan satu lagi, sepertinya kini aku mulai
gila karena berdebat sendiri dengan diriku yang lain. Oke, ini membingungkan.
Lebih baik kita sudahi saja perdebatan ini dan kembali ke masalah Yamada-senpai.[2]
Ah,
senangnya hatiku menikmati tatapan iri para pemuja Yamada-senpai dan tentu saja tatapan ingin membunuh dan menenggelamkanku
ke dasar Sungai Shinano dari Yamashita Ryoko, yang sering mengaku-aku sebagai
kekasih Yamada-senpai. Ya, memang dia
cantik dan menarik. Dia juga ketua fanclub
Yamada-senpai. Ah, tapi entah kenapa
aku tidak menyukainya. Mungkin karena dandanannya kelewat menor itu yang
membuatku kadang bergidik ngeri. Entah berapa sentimeter tebal bedak yang dia
gunakan.
Sebenarnya
aku bukan salah satu pemuja Yamada-senpai.
Apalagi sampai bergabung ke fanclub-nya
itu. Memikirkannya pun membuatku ber-sweat
drop-ria. Tapi memang benar, akhir-akhir ini pemuda berambut short spike itu sering mondar-mandir di
mimpiku. Mungkin karena kejadian beberapa waktu yang lalu yang membuatku mulai
menganguminya.
Bulan
November yang lalu, aku melihatnya memberi makan seekor kucing liar di tepi
jalan. Yamada-senpai yang kadang terlihat
cuek itu ternyata penyayang binatang juga. Saat itu aku sampai terheran-heran
melihatnya, sampai-sampai Kaito nii-san
[3]menyeretku
pulang.
Ah,
sudahlah, yang penting kini aku bersama pemuda
yang bisa dibilang lumayan populer di Horikoshi Gakuen.
Kami
berjalan berdua, beriringan melalui koridor sekolah. Sampai tempat parkir pun,
dia membukakan pintu mobil untukku. Aku sendiri juga heran, sejak kapan Yamada-senpai naik mobil ke sekolah? Tapi,
segera saja kuabaikan hal itu. Yang penting aku sekarang bersamanya.
Semula
aku sempat berpikir, “Shinigami, kau
boleh mengambil nyawaku sekarang. Setidaknya aku mati dalam pelukan Yamada-senpai.” Tapi setelah kupikir-pikir
lagi, sayang rasanya jika aku mati muda. Setidaknya aku belum menikah dan
melahirkan buah hatiku dan Yamada-senpai.
Oke, ini sangat absurd. Lupakan saja.
Senang
sekali rasanya duduk bersebelah dengan Yamada-senpai dalam mobil yang sama. Dia tersenyum manis padaku dan
perlahan mendekatiku. Bibir kami hampir saja berpagutan sampai tiba-tiba suara
janggal dari belakangku. Entahlah, seperti suara Nakamura-sensei. Kenapa aku mendengar sayup-sayup suaranya ya? Padahal
seingatku beliau tidak ikut menebeng mobil Yamada-senpai.
“KOBAYASHI!!
BANGUN!!”
***
Huft,
aku menghela nafas pelan saat sepasang manik mataku melirik ke luar jendela.
Bulir-bulir air mulai berjatuhan membasahi bumi. Kali ini langit jauh lebih
gelap dari biasanya. Dan benar saja,
hujan yang semula hanya girimis, perlahan menjadi deras.
Kulirik
jam tangan digital merah marun di pergelangan tangan kiriku. Pukul 16.25. Hari
sudah sore dan sekolah mulai tampak lengang kecuali segerombolan anak yang
mengikuti ekstrakulikuler yang tampak berlarian berteduh dari derasnya hujan.
Seharusnya
aku bisa pulang dari tadi kalau saja Nakamura-sensei tidak memergokiku terlelap saat pelajarannya. Dan beginilah
hasilnya, beliau menghukumku —, oh tidak, mungkin lebih tepatnya menugasiku
membersihkan toilet perempuan sendirian. Ya, benar sekali. Sendirian! Beliau
sangat baik hati bukan?
Aku
terus berjalan menyusuri koridor sekolah menuju dojo[4] kendo[5]
yang berada di lantai satu. Seingatku hari ini Kaito nii-san latihan kendo.
Aku ingin mengajaknya pulang bersama karena hari ini aku lupa membawa payung.
Kugeser
shoji[6]
ruang itu. Sejujurnya aku baru dua kali ini kemari. Bukan karena aku benci kendo, tapi —,
“Ah,
Megumi-chan[7]!”
seru seorang gadis yang mengenakan hakama[8].
Maafkan aku, tapi dialah alasanku malas ke dojo
ini. Gadis bersurai hitam bergelombang ini menyukai Kaito nii-san. Sebenarnya aku tidak keberatan,
tapi karena Kaito nii-san itu super
tidak peka, jadi gadis ini memintaku untuk membantunya. Tapi sejauh ini usaha
mendekatkan mereka belum ada kemajuan.
“Ano…Takahashi-san[9]
—,”
“Panggil
aku Chiharu nee-chan[10],
sebentar lagi aku akan menjadi kakak iparmu kan?” ucap gadis di depanku ini
seraya malancarkan jurus ‘Senyuman Sejuta Watt’-nya yang sangat menyilaukan
mataku.
Aku
hanya tersenyum canggung dan menggaruk tengkukku yang tiba-tiba gatal. Mungkin
sejenis alergi terhadap orang yang tingkat kepercayaan dirinya sudah terlalu
parah seperti Takaha —, oh maaf, maksudku Chiharu nee-chan.
“Kalau
kau mencari Kaito-kun, kau terlambat.
Dia sudah pulang.” kata Chiharu yang kujawab dengan anggukan kecewa dan segera
berpamitan dan meninggalkan tempat itu.
Aku
berusaha menghubungi ponselnya, tapi sayangnya tidak aktif. Mungkin dia sedang menyiapkan
makan malam karena hari ini adalah gilirannya. Maklum saja kami terbiasa
membagi pekerjaan rumah kami sejak meninggalnya Okaa-san[11]
bulan November lima tahun yang lalu.
Kini
aku berusaha menghubungi Otou-san[12],
tersambung tapi tidak diangkat. Ah, pasti beliau masih sibuk dengan
mahasiswa-mahasiswanya.
Aku
tengah menggerutu tak karuan saat ada seseorang yang berdiri sejajar denganku
di teras sekolah ini. Aku melirik sekilas ke arahnya. Tolong tampar aku! Dia
pemuda yang membuatku harus membersihkan toilet perempuan sendirian.
“Hei,
kenapa kau melihatku seperti itu? Apakah ada yang salah dengan wajahku?” tanya
pemuda itu seraya memegangi wajahnya.
Ya, Senpai! Sangat salah!
Wajahmu terlalu tampan.
“Ah,
gomenasai[13],
Senpai. Tidak ada yang salah.” kataku
seraya merunduk dan tanpa sengaja sepasang mataku melihat payung yang
dibawanya. Oke, aku berani bertaruh. Jika dia menawariku untuk menggunakan
payung bersamanya, maka aku akan minta dia menamparku. Catat itu! Yah, walau kemungkinannya
hanya 0, 00001% sih.
“Ano[14]…,
Yamada-senpai tidak pulang?” tanyaku
berbasa-basi.
“Masih
terlalu deras, setidaknya aku menunggu sedikit reda.” jawabnya tenang dan entah
kenapa sepertinya Tuhan mengabulkan
ucapannya. Hujan mulai reda. Hanya gerimis kecil dan tidak ada sambaran petir
seperti tadi.
Pemuda
di sampingku ini tersenyum simpul, “Sepertinya Dewa Hujan mendengar ucapanku,
Kobayashi-san.”
Aku
terheran saat dia memanggil nama margaku, “Senpai,
mengenalku?”
“Takahashi-san yang memberitahuku. Sepertinya dia
sangat menyukai Kobayashi-senpai. Hampir
tiap latihan dia menempel padanya.”
“Ya,
dia memintaku untuk membantunya. Tapi Kaito nii-san
terlalu bodoh sampai tidak menyadarinya.”
Dia
hanya tersenyum menanggapi ucapanku, “Kurasa mereka berdua cocok.”
“Sudah
mulai reda.” gumamnya entah pada siapa, “Kobayashi-san, mungkin kita bisa ke halte bus bersama.” katanya seraya
membuka payung.
Aku
memandangnya antara senang dan menyesal. Senang karena Tuhan mengabulkan
permintaanku dan menyesal karena aku harus memenuhi janjiku.
“Senpai, tampar aku sekarang.”
Yamada-senpai mengernyitkan kening heran dan
menatapku seolah minta penjelasan dan aku balik menatapnya takut-takut.
Sepertinya dia tak akan tega.
Ah, jika dia tega benar-benar menamparku,
maka aku akan mencium pipinya. Astaga! Aku mulai berjanji yang aneh-aneh lagi.
Bodohnya aku.
“Baiklah,
tapi jangan adukan pada Kobayashi-senpai.”
PLAK!!
Kepalaku
terasa berkunang-kunang setelah tamparannya. Sial! Dia benar-benar menamparku.
Oh, haruskah aku melakukannya.
GLEGAAARR!!
Iya,
iya, baiklah aku akan melakukannya. Sepertinya suara petir itu merupakan
peringatan untukku untuk tidak sembarangan berjanji lagi.
“Senpai, bisakah kau merunduk sebentar?
Hidungmu kotor.” Kebohongan terucap lancar dari bibirku.
Yamada-senpai menuruti permintaanku seraya
memegangi hidungnya.
CUP!
Aku
melihat matanya membulat sempurna saat aku menciumnya.
“Senpai, gomenasai!” teriakku berlari
menembus gerimis meninggalkannya yang masih terkejut. Aku menengok sekilas ke
belakang dan dia tersenyum canggung ke arahku.
Kurasa
hujan kali ini membawa keberuntungan untukku. Setidaknya aku bisa mencium
Yamada-senpai walaupun kini aku harus
kehujanan menuju halte bus yang tak jauh dari sekolah kami.
Oh,
tunggu! Bukankah rumahku dan Yamada-senpai
searah? Dan bukankah jadwal bus yang berikutnya datang masih sepuluh menit
lagi? Itu berarti aku akan bertemu dia. Oh, tidak! Apa yang harus kulakukan?
Aku masih belum siap menghadapinya.
“Kobayashi-san?”
Suara
itu! Suara yang paling kuhindari saat ini setelah apa yang baru saja aku
lakukan padanya.
Shinigami,
maukah kau menjemputku sekarang?
***
[1] Dewa Kematian
[2] Senior
[3] Kependekan Onii-san yang artinya kakak laki-laki
[4] Tempat latihan dan tempat bertarung martial art Jepang
[5] Salah satu jenis martial art Jepang yang menggunakan pedang bambu
[6] Pintu geser
[7] Panggilan untuk anak kecil. Bisa juga untuk panggilan peremruan
agar terlihat imut.
[8] Pakaian luar tradisional Jepang yang dipakai dari pinggang sampai
mata kaki.
[9] Panggilan paling umum untuk menyapa orang yang bukan anggota
keluarga.
[10] Kependekan Onee-chan artinya kakak perempuan.
[11] Ibu
[12] Ayah
[13] Maaf
[14] Semacam “Hm…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comments here